A.
KONSEP DASAR
1.
Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun
dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf
tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998).
Kusta (lepra atau morbus Hansen)
adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae). (Kapita Selekta Kedokteran,
2000).
2.
Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan
basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer,
kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafasbagian atas, hati, sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat.
Masa membelah diri mikobakterium
leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
3.
Patofisiologi (WOC)
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh,
perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi,
penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat
infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan
tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit
kusta disebut penyakit imonologik.
4.
Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila
terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
a. Adanya lesi
kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga
biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan
kulit.
c.
Penebalan saraf tepi, nyeri tekan,
parastesi.
Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis
yaitu:
a.
Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang
tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihansebesar uang logam atau
lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,punggung, pantat, paha
atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilangsama sekali,
kadang-kadang tepinya meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering
terjadi gejala kulit tak begitu menonjoltetapi gangguan saraf lebh jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relative lebih sering terjadi sering terjadi
dan timbul lebih awal dari bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak ditemukan
adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak yang ditemukan
di Indonesia dan terjadi pda orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman
kusta cukup tinggi.
b.
Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular
karena banyak kuman dapat ditemukan baik diselaput lendir hidung, kulit maupun
organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk
kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam
menghadapi kuman kusta.
Kelainan kulit bisa
berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh
badan ataupun sebagai penebalankulit yang luas (infiltrat) yang tampak
mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagaibenjolan-benjolan merah sebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan dauntelinga.Sering
disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang
terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan
padabentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.
Pada bentuk yang
parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).Diantara kedua bentuk
klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan(tipe borderline) yang
gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
5.
Komplikasi
Cacat merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi
saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta. Proses
terjadinya cacat kusta dapat dilihat sebagai berikut.
6.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan
pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1)
Sediaan diambil dari kelainan kulit
yang paling aktif.
2)
Kulit muka sebaiknya dihindari karena
alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3)
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi
kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4)
Lokasi pengambilan sediaan apus untuk
pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a)
Cuping telinga kiri atau kanan
b)
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif
ditempat lain
5)
Sediaan dari selaput lendir hidung
sebaiknya dihindari karena:
a)
Tidak menyenangkan pasien
b)
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c)
Tidak pernah ditemukan mikobakterium
leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d)
Pada pengobatan, pemeriksaan
bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6)
Indikasi pengambilan sediaan apus
kulit:
a)
Semua orang yang dicurigai menderita
kusta
b)
Semua pasien baru yang didiagnosis
secara klinis sebagai pasien kusta
c)
Semua pasien kusta yang diduga kambuh
(relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
d)
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7)
Pemerikaan bakteriologis dilakukan
dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8)
Cara menghitung BTA dalam lapangan
mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau
seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
b.
Indeks
Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan
pandang
c.
Indeks
Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
7.
Penatalaksanaan
a. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi
WHO 1995 sebagai berikut:
1) Tipe PB ( PAUSE
BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a)
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan
petugas
b)
DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif.
2) Tipe MB ( MULTI
BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a)
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan
petugas
b)
Klofazimin 300mg/bln diminum didepan
petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
c)
DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36
bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
3) Dosis untuk
anak
Klofazimin:
a)
Umur dibawah 10 tahun :
·
Bulanan 100mg/bln
·
Harian 50mg/2kali/minggu
b)
Umur 11-14 tahun :
·
Bulanan 100mg/bln
·
Harian 50mg/3kali/minggu
4) Pengobatan MDT
terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6
dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
5) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak
4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
b. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi
netral.
1)
Perawatan mata dengan lagophthalmos
a)
Penderita memeriksa mata setiap hari
apakah ada kemerahan atau kotoran
b)
Penderita harus ingat sering kedip
dengan kuat
c)
Mata perlu dilindungi dari kekeringan
dan debu
2)
Perawatan tangan yang mati rasa
a)
Penderita memeriksa tangannya tiap hari
untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
b)
Perlu direndam setiap hari dengan air
dingin selama lebih kurang setengah jam
c)
Keadaan basah diolesi minyak
d)
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan
halus
e)
Jari bengkok diurut agar lurus dan
sendi-sendi tidak kaku
f)
Tangan mati rasa dilindungi dari panas,
benda tajam, luka
3)
Perawatan kaki yang mati rasa
a)
Penderita memeriksa kaki tiap hari
b)
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang
½ jam
c)
Masih basah diolesi minyak
d)
Kulit yang keras digosok agar tipis dan
halus
e)
Jari-jari bengkok diurut lurus
f)
Kaki mati rasa dilindungi
4)
Perawatan luka
a)
Luka dibersihkan dengan sabun pada
waktu direndam
b)
Luka dibalut agar bersih
c)
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d)
Bila bengkak, panas, bau bawa ke
puskesmas
B.
PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang
diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan,
alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita
kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada
saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika
dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun
yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai
penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena
sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh
dan komplikasi yang diderita.
f. Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan
pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang
tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena
reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi
sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi
infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata
akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya
seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
2.
Diagnosa
a.
Kerusakan integritas kulit yang
berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b.
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang
berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
c.
Intoleransi aktivitas yang berhubungan
dengan kelemahan fisik
d.
Gangguan konsep diri (citra diri) yang
berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
3.
Intervensi
a.
diagnosa 1
1)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
2)
Kriteria :
a)
Menunjukkan regenerasi jaringan
b)
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada
lesi
3)
Intervensi:
a)
Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika
ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
·
Rasional:Memberikan inflamasi dasar
tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang
terdapat lesi.
b)
Berikan perawatan khusus pada daerah
yang terjadi inflamasi
·
Rasional:menurunkan terjadinya
penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
c)
Evaluasi warna lesi dan jaringan yang
terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar
·
Rasional :Mengevaluasi perkembangan
lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
d)
Bersihan lesi dengan sabun pada waktu
direndam
·
Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu
perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
e)
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi
dari tekanan
·
Rasional:Tekanan pada lesi bisa
maenghambat proses penyembuhan
b.
Diagnosa 2
1)
Tujuan:setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang
2)
Kriteria:setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan
beraangsur-angsur hilang
3)
Intervensi:
a)
Observasi lokasi, intensitas dan
penjalaran nyeri
·
Rasional:Memberikan informasi untuk
membantu dalam memberikan intervensi.
b)
Observasi tanda-tanda vital
·
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan
atau keadaan pasien
c)
Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik
distraksi dan relaksasi
·
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
d)
Atur posisi senyaman mungkin
·
Rasional:Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri
e)
kolaborasi untuk pemberian analgesik
sesuai indikasi
·
Rasional:menghilangkan rasa nyeri
c.
Diagnosa 3
1)
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan
keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
2)
Kriteria:
a)
Pasien dapat melakukan aktivitas
sehari-hari
b)
Kekuatan otot penuh
3)
Intervensi:
a)
Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
·
Rasional: meningkatkan posisi
fungsional pada ekstremitas
b)
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan
pada kulit
·
Rasional: oedema dapat mempengaruhi
sirkulasi pada ekstremitas
c)
Lakukan latihan rentang gerak secara
konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
·
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan
jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
d)
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas
perawatan untuk memberikan periode istirahat
·
Rasional: meningkatkan kekuatan dan
toleransi pasien terhadap aktifitas
e)
Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/
orang yang terdekat pada latihan
·
Rasional: menampilkan keluarga / oarng
terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
d.
Diagnosa 4
1.
Tujuan:setelah dilakukan tindakan
keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat
2.
Kriteria:
a)
Pasien menyatakan penerimaan situasi
diri
b)
Memasukkan perubahan dalam konsep diri
tanpa harga diri negatif
3.
Intervensi
a)
Kaji makna perubahan pada pasien
·
Rasional: episode traumatik
mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan
optimal
b)
Terima dan akui ekspresi frustasi,
ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
·
Rasional: penerimaan perasaan sebagai
respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
c)
Berikan harapan dalam parameter situasi
individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
·
Rasional: meningkatkan perilaku positif
dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas
d)
Berikan penguatan positif
·
Rasional: kata-kata penguatan dapat
mendukung terjadinya perilaku koping positif
e)
Berikan kelompok pendukung untuk orang
terdekat
·
Rasional: meningkatkan ventilasi
perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar